KOMPAS.COM - Tak jauh dari lokasi wisata di Gunung Papandayan, terdapat Situ dan Candi Cangkuang. Jangan kalah oleh rasa malas ketika melihat kondisi Situ dan Candi Cangkuang yang ada sekarang. Tiba di sana, nikmati duduk-duduk di rakit bambu (getek), melihat air, teratai, dan pulau kecil di tengahnya yang menjadi lokasi Candi Cangkuang.
Sampai di pulau kecil tadi, lagi-lagi, nikmati pemandangan sejumlah gunung yang mengitari lokasi yang berada di lembah itu. Bayangan Gunung Guntur, Pasir Kedaleman, Pasir Gadung, Haruman, Malang, dan Mandalawangi di permukaan danau seluas 25 hektar bisa bikin segar mata, lantas turun ke hati.
Cukup dengan Rp 3.000 untuk tiket masuk, khusus wisatawan asing Rp 5.000. Sedangkan untuk menggunakan rakit, Rp 10.000/orang, tetapi jika kelompok lebih dari lima orang, hanya dikenai biaya Rp 5.000/orang. Kawasan wisata ini ada di pintu masuk ke Kabupaten Garut, di Kecamatan Leles.
Dengan uang yang bahkan kurang dari tarif TransJakarta, kita disuguhi panorama yang jarang bisa kita dapatkan. Tak hanya itu, benak kita pun diisi dengan sejarah penduduk asli Kampung Pulo beserta keberadaan candi. Plus, kisah tentang adat istiadat mereka yang masih dipertahankan meski sekarang sudah masuk zaman flashdisk dan Blackberry.
Nama Cangkuang diambil dari nama buah Cangkuang (sejenis tanaman pandan dengan nama latinPandanus Furactus). Pohon ini hanya tumbuh di daerah itu. Dan, sampai saat ini hanya pohon ini yang tumbuh terbanyak di lokasi candi seluas 4,5 hektar.
Candi yang ditemukan kembali pada tahun 1966 dan dipugar antara tahun 1967-1969 ini, berdiri gagah bersebelahan dengan makam Eyang Embah Dalem Arif Muhammad. Konon, Arif Muhammad ini adalah panglima perang keturunan Mataram yang diutus mengusir penjajah dari bagian tanah Sunda, tetapi gagal dan takut pulang karena takut dihukum oleh raja Mataram. Jadilah dia tinggal dan membentuk keluarga di Cangkuang
Dari kekalahan Arif Muhammad ini ada kisah menarik tentang adat istiadat penduduk asli di sekitar Candi Cangkuang yang disebut sebagai Kampung Pulo. Menurut Tatang, sesepuh sekaligus keturunan ke sembilan dari Arif Muhammad, adat istiadat yang dipertahankan sampai sekarang adalah jumlah bangunan di Kampung Pulo tidak pernah lebih dan kurang dari tujuh. Bangunan tersebut terdiri atas enam rumah dan satu mushola.
"Jumlah bangunan ini sesuai dengan anak dari Embah Dalem Arif Muhammad, yaitu enam anak perempuan dan satu anak laki-laki. Dan, meski saat ini sudah ada lebih dari 10 keturunan, hanya keturunan dari pihak perempuan yang berhak tinggal di rumah yang ada di sini. Selain itu, adat istiadat lainnya adalah larangan membunyikan gong. Kenapa demikian? Ini terkait sejarah dulu ketika Embah Dalem Arif Muhammad hendak mengkhitankan anak laki-lakinya, diadakan perayaan di mana saat itu ada arak-arakan. Saat ada bunyi gong di arak-arakan, sang putra terjatuh dan meninggal," tutur Tatang.
Kisah lain yang tak kalah menarik, tentu saja kisah misteri yang biasa melingkupi candi-candi, bangunan tua, atau di pegunungan. Seperti di Papandayan, sampai sekarang masih ada misteri tentang datangnya angin kencang dan hujan setelahnya. Mungkin ini bisa jadi hal biasa, tetapi di Papandayan sejumlah pemanjat meyakini, antara datangnya angin dan hujan ada sejumlah pantangan.
Seperti yang terjadi pada tim dari National Geographic Indonesia bersama Chevron (perusahaan gas bumi), pemandu sudah menyebutkan jika angin kencang datang, seluruh rombongan diminta tidak berisik dan hanya diam di tempat. Namun, pantangan ini dilanggar. Maka, hanya dalam hitungan detik hujan deras pun mengguyur.
Meski hanya beberapa menit, saat angin kencang datang lagi sebanyak tiga kali, dan rombongan masih melanggar pantangan itu, hujan deras pun turun lagi. "Kenapa ada pantangan ini? Karena saat ini kan sedang musim hujan. Tadinya sudah ada pawang yang sudah berusaha menghambat supaya hujan tidak turun saat orang-orang naik melihat kawah. Tapi, namanya juga pawang hujan, minta ke Karuhun (nenek moyang) pasti ada pantangan yang enggak boleh dilanggar," ungkap Ade Nadin, pemandu di Papandayan.
Misteri lainnya adalah musibah meletus dan longsor yang terjadi di Papandayan. Peristiwa terjadi selalu di tahun yang berakhir dengan angka dua dan korban jiwa yang melayang dipastikan selalu ganjil.
Fakta angka ganjil dan angka dua ini bukan isapan jempol, karena sesuai catatan yang ada, Papandayan pernah meletus tiga kali, yaitu di tahun 1772, 1942, dan terakhir tahun 2002. Korbannya tercatat mulai dari 300 jiwa, dan lima orang. "Kami juga tidak paham kenapa seperti ini, tetapi memang nyatanya begini. Makanya, warga asli di sekitar Papandayan setahun sekali mengadakan sesaji," Ade menjelaskan.
Di Cangkuang, pada Minggu 23 Desember tahun 2007 sekitar pukul 16.30, sempat terekam sebuah penampakan yang diduga kuat arwah dari Arif Muhammad. Ketika itu ada sejumlah orang yang sedang berziarah. Gambar yang terekam kamera foto manual ini sampai sekarang masih dipamerkan di museum kecil di dekat candi.
WARTA KOTA Celestinus Trias HP.
Sumeber: http://www1.kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar